Minggu, 23 Januari 2011

Degenerasi Demokrasi⁠

Dua jebakan besar selalu menghadang agenda pembangunan demokrasi, yaitu disfungsionalitas dan degenerasi demokrasi. Indonesia terjatuh pada yang kedua, karena lemahnya komitmen bersama di antara elite partai politik (parpol) untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara secara sehat.
   
Dalam kuliah umumnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 Desember lalu, Profesor Dr. Boediono yang juga Wapres secara tersirat memberikan catatan cukup tajam mengenai konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kalau kita tidak hati-hati, katanya, pengalaman revolusi Perancis yang memakan anak-anak terbaik dari bangsanya sendiri bisa terjadi di negeri ini. Perancis pada abad 18 adalah sebuah negara adidaya dengan penduduk dan ekonomi terbesar di Eropa di bawah monarki yang telah berusia ratusan tahun.   

Tahun 1789 terjadi revolusi sosial, pemicu utamanya adalah krisis pangan akibat dilanda musim dingin yang sangat parah. Panen gagal, kas negara kosong, layanan sosial sangat mengecewakan. Kelaparan dan keresahan terjadi di mana-mana, para elite masih menunjukkan hidup mewah. Kelaparan, pengangguran dan krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah pada urutannya melahirkan kemarahanan sosial. Tokoh-tokoh pencerahan seperti Montesquieu, Rousseau dan Voltaire berhasil membakar massa untuk merobohkan tatanan lama yang korup dan feodalistik, sehingga muncul pekik revolusi: Liberty, Equality, Fraternity. Kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.

Tatanan lama jebol, tatanan baru tidak segera terwujud, sehingga memunculkan apa yang disebut ”Reign of Terror” di bawah Robespiere (1793-1794). Pemerintah dan rakyat sama-sama bingung, tercekam, dan tidak memiliki agenda jelas untuk memperbaiki keadaan. Sungguh tragis, Raja Louise XVI dan permaisurinya, Marie Antonette, mengakhiri hidupnya dengan mengenaskan di guillotine bersama sebelas ribu konco-konconya. 

Ketika kerusuhan, ketidakpastian dan pesimisme telah mencekap masyarakat, maka rakyat mendambakan datangnya tokoh penyelamat, ratu adil, yang mampu menenteramkan keadaan. Maka tampillah Napoleon Bonaparte, sang jenderal perang yang cerdas, yang kemudian ditetapkan oleh Majelis Nasional sebagai Konsul Pertama. Itu terjadi pada 1799, hanya sepuluh tahun setelah revolusi. Di bawah Napoleon ketertiban tegak kembali, sehingga pada tahun 1802 Napoleon ditetapkan sebagai Konsul Seumur Hidup, didukung oleh 3.568,885, sementara yang menolak hanya 8,374 suara. Bayangkan, hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun akibat kegagalan melakukan konsolidasi demokrasi maka diktator baru tampil kembali. Rakyat tidak tahan lama hidup dalam keresahan dan ketidakpastian.

Degenerasi Demokrasi

Meskipun tidak disampaikan secara eksplisit, Boediono memperingatkan bahwa konsolidasi demokrasi di Indonesia bisa gagal dan akan terjatuh menjadi demokrasi semu alias degenerasi demokrasi kalau para elite politik tidak kompak dan tidak memiliki komitmen kuat untuk membangun bangsa. Degenerasi adalah menurunnya kualitas proses demokrasi secara gradual tetapi pasti yang bermuara pada munculnya sistim lain, seperti oligarki dan otoriter.

Berbeda dari disfungsionalitas, degenerasi demokrasi prosesnya agak lama dengan banyak penyebab, sehingga masyarakat sulit untuk menunjuk secara persis pelaku utamanya, namun merasakan terjadinya erosi. Sumber utamanya berasal dari bercampur-aduknya kepentingan privat dan kepentingan publik dan biasanya kepentingan umum yang terkorbankan. Layanan sosial jauh dari memuaskan. Komersialisasi jabatan dan politik uang merupakan ancaman serius bagi konsolidasi demokrasi yang membuat rakyat tidak akan percaya lagi pada janji-janji dan kemuliaan demokrasi karena mereka tidak merasakan dan melihat hasil yang dibayangkan semula.

Ketika komersialisasi jabatan masuk ke ranah birokrasi, maka birokrasi kehilangan karakternya yang obyektif, administratif, profesional, dan non-politik. Perselingkuhan antara politik dan birokrasi akan membawa akibat yang sangat serius dan sistemik. Kinerja birokrasi akan rendah, layanan sosial menurun, dan kepentingan politik yang akan pegang kendali birokrasi. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika mesin penggerak pemerintahan buruk, maka rakyat yang akan jadi korban. Pemerintah dan negara kehilangan wibawa di mata rakyatnya sendiri.

Degenerasi demokrasi telah terjadi di negeri ini. Masyarakat mulai sinis dengan mantra demokrasi dan reformasi karena buah yang ditunggu-tunggu dan dijanjikan tidak kunjung muncul. Dalam berbagai forum internasional kita seringkali membanggakan diri sebagai “the largest and the most democratic country after US and India”. Tetapi di dalam negeri berbagai kritik dan kekecewaan terhadap praktik pemilu dan pemilukada semakin santer. Ongkos pemilukada sangat mahal, baik dari segi uang maupun sosial, sementara calon yang menang kebanyakan mengecewakan rakyat. Lebih dari dua ratus pemilukada berakhir melalui keputusan Mahkamah Konstitusi akibat sengketa.  

Muncul pertanyaan, ketika politisi memegang jabatan birokrasi pemerintahan, betulkah loyalitas satu-satunya hanya untuk melayani rakyat dan memajukan bangsa? Parpol tanpa uang tidak mungkin berkembang. Parpol tidak cukup hanya mengandalkan program dan pengurus. Lalu dari mana uang didapat untuk merealisasikan programnya yang begitu besar dan banyak? Inilah pertanyaan untuk wilayah abu-abu yang saya sendiri tidak tahu jawabnya. Tetapi jika betul terjadi perselingkungan politik dan birokrasi, maka logis terjadi degenerasi demokrasi dan pembusukan birokrasi akibat berpolitik tanpa komitmen kebangsaan yang kompak dan kuat. Rakyat resah dan marah, namun sulit hendak dialamatkan ke mana mengingat aktornya begitu banyak, beda dari sistim monarki dengan aktor tunggal.

Rasanya di Indonesia kecil kemungkinannya tampil orang kuat seperti kisah revolusi Perancis yang melahirkan Napoleon. Tetapi tidak kalah bahayanya jika yang terjadi adalah proses degenerasi demokrasi. Dipermukaan seakan semuanya berlangsung baik, mulus, sesuai kaidah bernegara, namun di bawahnya berlangsung pembusukan. Layanan sosial buruk, sendi-sendi birokrasi keropos, kalangan parpol sibuk bernegosiasi dan berkompetisi tanpa visi dan komitmen jelas serta solid untuk perbaikan hidup berbangsa dan bernegara. Sulit dibedakan antara perilaku birokrat pelayan rakyat dan politisi yang memikirkan kelompoknya karena dalam dirinya melekat keduanya dengan agenda yang kadang berseberangan.

Kalau demokrasi semakin tidak menarik bagi rakyat, maka politisi dari jajaran parpol paling bertanggungjawab karena mereka yang mengendalikan lembaga legislatif dan eksekutif. Kegagalan mereka menampilkan kader-kader terbaiknya untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan memenuhi tuntutan rakyat secara tidak langsung telah mendevaluasi makna demokrasi untuk mensejahterakan rakyat dan memajukan bangsa.

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jaka

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan sampaikan tanggapan

 

aswr.wb

Semoga kita semua selalu dalam rahmat Allah yang Maha Kuasa

Berita KAMMI

Kalimantan`s KAMMI demands trial of Century scandal culprits
Palangkaraya, C Kalimantan (ANTARA News) - The Indonesian Muslim Students Action Front (KAMMI)- Central Kalimantan Chapter has demanded court trials for those involved in the Bank Century bailout scandal. Chairman of KAMM`s Kalimantan chapter, Gunawan, said here Tuesday the efforts to reveal the bailout scandal should not just end with the work of the House of Representatives` (DPR) inquiry committee. "Instead, the outcome of the House`s Bank Century Inquiry Committee`s probe should be followed up by a legal process for the sake of justice for the Indonesian people," he said.

Total Tayangan Halaman